Monang menyatakan putusan MK itu memberi ruang bagi penghayat
kepercayaan mengenalkan identitasnya. Harapannya, ada kemudahan bagi
mereka untuk menjalani proses administrasi.
Dia mencontohkan,
pada era administrasi sistem online saat ini, penghayat kepercayaan
cukup kesulitan. Mereka tidak memiliki pilihan untuk mengisi kolom yang
opsinya sudah tersedia. Saat pendaftaran masih manual, pada formulir
masih tersedia pilihan "lain-lain" pada kolom "agama".
Monang
beranggapan, jalan masih panjang untuk mencapai kesetaraan yang mereka
impikan."Keinginan kita kesetaraan dan persamaan hak untuk apapun
kesempatan di Indonesia. Ini baru identitas di KTP dan mungkin
administrasi lainnya ... Anggaplah sekarang dapat ditulis di KTP, tapi
belum bisa masuk polisi atau masuk tentara, karena di sana masih ada
peraturan 6 agama. Jadi aplikasinya nanti yang penting. Bukan berarti
kita senang-senang. Masih banyak lagi yang harus dilalui," jelas Monang.
Parmalim
merupakan sebutan bagi penganut Ugamo Malim. Kepercayaan ini terutama
dianut suku Batak Toba di Sumatera Utara. "Khusus kami (Parmalim) saja
ada sekitar 9.000 (penganut) di seluruh Indonesia. Jadi jumlah penghayat
kepercayaan di Indonesia cukup banyak, karena ada banyak kepercayaan
lain," jelas Monang.
Seperti diberitakan MK Selasa,
(8/11/2017) kemarin mengabulkan uji materi Undang-Undang No 24 Tahun
2013 tentang Administrasi Kependudukan. Putusan ini memberi hak bagi
penghayat kepercayaan mengisi kolom 'agama' pada Kartu Keluarga (KK) dan
Kartu Tanda Penduduk (KTP) sesuai kepercayaan masing-masing.
Lewat
putusan itu, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang
sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam
memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. (mtc/.fae)