Oleh : Tundra Meliala
Ketua Bidang Kerja Sama dan Kemitraan PWI Pusat / Ketua Tim Perumahan PWI Pusat
MATATELINGA, Jakarta : Pendapatan wartawan kini seperti tinta yang menipis di ujung pena. Sejak media cetak ditinggalkan pembaca dan berguguran satu per satu, banyak jurnalis senior"yang dulu terbiasa berlari mengejar berita dengan stamina penuh"kehabisan angin. Transisi ke era digital membawa gelombang perubahan besar. Bukan cuma berita yang berpindah ke layar gawai, tapi juga nasib ribuan wartawan yang menggantungkan hidup pada oplah dan iklan cetak.
Peralihan ke media online, yang semula diharap jadi penyelamat, ternyata tidak cukup kuat mengangkat ekonomi para jurnalis. Platform digital menjanjikan kecepatan dan jangkauan, tetapi sering gagal memberi kestabilan finansial. Gaji rendah, status kerja tak pasti, hingga beban kerja yang terus meningkat jadi wajah baru profesi wartawan masa kini.
Ironisnya, baik jurnalis muda yang sedang merintis maupun senior yang telah melintasi berbagai zaman sama-sama mengalami kesulitan. Salah satu indikator paling nyata: kesulitan memiliki rumah. Jika dulu wartawan bisa mencicil rumah dengan sepertiga gaji bulanan, kini bahkan lima kali lipat gaji pun tak cukup menutupi cicilan awal. Harga rumah melonjak, dan pendapatan wartawan tak kunjung menyesuaikan. “Ukuran cukup” dalam standar hidup wartawan masa kini nyaris tak menyentuh garis wajar.