Berdasarkan Putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 2642 K/Pid/2006, lalu kemudian Peninjauan Kembali N 39 PK/Pid/2007 tertanggal 16 Juni 2008; menyatakan D.L. Sitorus sebagai Direktur Utama PT. Torganda terhukum penjara delapan tahun, denda Rp5 miliar. Dalam amar putusan Nomor 2642/K/PID/2006 juga dinyatakan tanah yang selama ini dikuasai Torganda, merupakan lahan negara. Bahkan MA menyatakan, lahan seluas 47 ribu hektar dalam Register 40 beserta isi disita oleh negara.
Namun putusan tersebut sampai tahun 2025 ini belum dieksekusi. Perusahaan tetap beroperasi di lahan yang merambah kawasan hutan Register 40. Seharusnya sejak 2006 atau ketika putusan MA keluar, keuntungan perusahaan ilegal itu diberikan kepada negara. Kita hitung saja sejak putusan MA sampai 2025 ini, berapa keuntungan yang diraup dari sana. Jika lahan 47.000 hektar tersebut menghasilkan keuntungan 1 juta rupiah saja per hektarnya setiap bulan. Maka dalam sebulan menghasilkan 47 miliar atau 564 Miliar per tahun. Artinya sejak 2006 hingga sekarang lahan pekebunan ilegal tersebut telah menghasilkan minimal 10 Trilyun Rupiah!
Menyelaraskan dengan semangat presiden Prabowo menjadikan Sawit sebagai komoditi dan aset strategis nasional, sudah seharusnya pihak terkait seperti Polda Sumut, Kejaksaan Tinggi Sumut untuk segera melanjutkan eksekusi hukum atas kawasan Register 40 di Padang Lawas, Sumatera Utara, sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA). Keputusan MA pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa lahan Register 40 adalah milik negara dan harus dikembalikan, merupakan langkah penting dalam upaya menjaga kedaulatan hukum dan kelestarian lingkungan.
Begitu juga kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan (dulu KLHK) harus segera mengambil langkah tegas dalam eksekusi kawasan Register 40, bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memastikan keputusan MA dilaksanakan tanpa hambatan. Terakhir kali KLHK terdengar membahas rencana eksekusi lahan Register 40 ini adalah pada tahun 2015 pada saat dipimpin Siti Nurbaya bersama Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang Fery Mursyidan, namun akhirnya rencana tersebut tidak pernah dieksekusi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus mengusut tuntas potensi tindak pidana korupsi yang menyebabkan tertundanya eksekusi ini. Aparat penegak hukum mesti bersikap adil tanpa pandang bulu, termasuk kepada korporasi besar yang terindikasi melanggar hukum di kawasan tersebut.
Putusan MA ini sudah terlalu lama tidak diindahkan, dan semakin lama akan semakin memperbesar kerugian negara, tidak hanya secara ekonomi, namun juga soal kewibawaan hukum dan marwah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peran berbagai elemen seperti media massa, masyarakat sipil, dan organisasi lingkungan sangat dibutuhkan untuk tetap mengawal isu ini, hingga sumber daya alam Indonesia terlepas dari penguasaan ilegal segelintir pengusaha. Mari bersama-sama menjaga kedaulatan hukum dan melindungi hutan kita untuk keberlanjutan bangsa.
*Fuad Ginting, S.Sos.,M.IP*
(Pengamat Politik dan Kebijakan Sumatera Utara, Akademisi FISIPOL Universitas Medan Area)