Akan menjadi kemasan menarik dan memberi pencerahan bagi publik manakala secara objektif, fair dan bertanggung jawab, media massa menyuguhkan realitas-realitas politik yang sesungguhnya dan bukan sekedar bahasa eufemisme dari para politisi yang selalu dikutip.
Peristiwa "testimoni legowo" yang baru saja terjadi, setidaknya memberi referensi nyata bahwa gejolak dan dinamika sesungguhnya benar adanya dan setidaknya membuat publik "terpelongo" atas apa yang terjadi di sekat-sekat kepentingan para politisi partai politik.
Meski publik bersyukur atas adanya "kejutan" tersebut, namun pada prinsipnya hal-hal seperti ini tidak akan dengan mudah diperoleh dan diframing media massa secara massal seperti saat ini. Faktor "luck" media karena adanya dorongan kuat dari sang tokoh untuk mengungkapnya ke publik lah yang menjadikan segala sesuatu di balik sebuah konsesus politik ternyata complicated. Lalu apakah momen-momen seperti ini bisa terulang ?
Tampilan media yang mengedepankan pencerdasan publik menjadi pertaruhan tersendiri bagi media saat ini. Publik sudah sangat faham adanya "afiliasi" media dengan partai politik karena kebijakan liberalisasi media massa yang terlanjur kita terapkan. Apakah media massa akan mengulang "dosa" partai politik dengan mengkerdilkan alam kesadaran dan ketajaman berpikir publik dengan suguhan produk-produk jurnalistik yang menjauhkan fungsi media itu sendiri ?.
Tentu tarik-menarik kepentingan dalam proses idealisme media tersebut akan berjalan penuh tantangan karena begitu tebalnya arsiran media dan politik tanah air saat ini. Akan tetapi akan menjadi "kuburan" pula bagi media massa jika terus membiarkan kooptasi pemilik modal plus "pemilik" partai politik.
Sebagai sebuah lembaga yang memberi makna dari kehidupan sosial kemasyaratakan, kiranya media massa sejatinya tidak harus terlalu "mempermalukan" dirinya sendiri dengan memainkan makna hati nurani publik.
Tantangan dan ancaman besarpun sedang dan sudah berlangsung saat ini dengan begitu strategisnya keberadaan media sosial (social media) yang kini menyertai kehidupan warga. Arus "urbanisasi" pemakai media dari media massa kepada media sosial dikhawatirkans semakin cepat bergulir jika media media masa terus memberi stimulus dengan mengorbankan peranan strategisnya sendiri.
Atau malah mungkin saat ini secara tak disadari,, media massa sudah "tersandera" oleh media sosial ?. Semoga tidak sampai bermuara ke arah tersebut.
Praktisi Media/Mantan Ketua IJTI Sumut