Matatelinga - Jakarta, Masuknya beras ilegal asal Vietnam ke pasaran telah menimbulkan tanda
tanya besar. Pasalnya, beras tersebut dibawa masuk dengan izin resmi
dari pemerintah. Hal ini, dinilai memberikan dampak besar bagi para
petani beras di seluruh Indonesia.
Beberapa kelemahan kembali
dievaluasi semua pihak. Salah satunya adalah Undang-Undang Kepabeanan.
Aturan tersebut dinilai melemahkan fungsi pengawasan proses impor oleh
lembaga negara.
"Ada beberapa pasal dalam aturan ini yang
melemahkan fungsi pengawasan. Ini juga jadi potensi pelanggaran," tutur
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo dalam acara Polemik, di
Warung Daun Cafe Cikini, Jakarta.
Firman
menjelaskan, aturan tersebut membolehkan pengawasan hanya dilakukan oleh
satu lembaga, tanpa ada campur tangan aparatur lain. Padahal, banyak
yang memiliki kapabilitas yang sama untuk melakukan pengawasan.
"Kepabeanan
tidak bisa disentuh aparat lain. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
tidak bisa masuk. Begitu juga aparat lain. Harusnya KPK bisa masuk
memeriksa aktivitas impor yang selama ini berjalan," jelasnya.
Menurut
dia, sanksi administrasi yang diberikan terhadap pelanggar tidak akan
menciptakan efek jerah. Untuk itu dibutuhkan perubahan terhadap aturan
tersebut yang memungkinkan masuknya lembaga lain dengan sanksi yang
lebih berat sehingga dapat memberikan efek jerah terhadap pelaku.
"Paling
berat denda. Ini tidak memberikan efek jera. Coba KPK dan yang lainnya
masuk. Itu kan bisa ada sanksi pidana yang pasti berat. Dengan begitu
ada efek jera," tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota
Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori, menyatakan
persoalan impor harus melibatkan KPK. Sebab, selama ini saat persediaan
beras surplus justru dilakukan impor.
"KPK harus masuk, misal
2011 itu impor kita 2,7 juta ton. Ini bukan beras premiun karena kan
kalau premium berasnya kecil-kecil. Ini pasti beras medium. Kemudian
2013 kita impor 1,97 juta ton, padahal surplus 4-5 juta. Menjadi
persoalan benarkah surplus itu?" jelasnya.
(Okc/KNIA)